Sunday, January 25, 2015

70 Persen Kerusakan Lingkungan akibat Operasi Tambang


Jumat, 28 September 2012 | 17:31 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com — Sekitar 70 persen kerusakan lingkungan di Indonesia disebabkan oleh operasi pertambangan.
Industri ekstraktif ini dengan mudah melabrak dan mengakali berbagai aturan yang bertentangan dengan kepentingannya, termasuk Undang-Undang Nomor  32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup (PPLH).
"Bahkan, UU No 32/2009 dianggap sebagai penghambat investasi. Tak heran, undang-undang ini terus diabaikan dan pelan-pelan dipereteli kekuatannya," kata Priyo Pamungkas Kustiadi, Media Communication and Outreach Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), di Jakarta, Jumat (28/9/2012).
Hampir 34 persen daratan Indonesia telah diserahkan kepada korporasi lewat 10.235 izin pertambangan mineral dan batubara (minerba). Itu belum termasuk izin perkebunan skala besar, wilayah kerja migas, panas bumi, dan tambang galian C.
Kawasan pesisir dan laut juga tidak luput dari eksploitasi, lebih dari 16 titik reklamasi, penambangan pasir, pasir besi, dan menjadi tempat pembuangan limbah tailing Newmont dan Freeport.
Demikian juga hutan kita, setidaknya 3,97 juta hektar kawasan lindung terancam pertambangan, tak luput keanekaragaman hayati di dalamnya. Tak hanya hutan, sungai kita pun dikorbankan. Jumlah daerah aliran sungai (DAS) yang rusak parah meningkat dalam 10 tahun terakhir.
Dari sekitar 4.000 DAS yang ada di Indonesia, sebanyak 108 DAS mengalami kerusakan parah. ESDM dinilai melakukan pembiaran atas kehancuran ini dan dibayar dengan kematian warga, kerusakan lahan, dan berubahnya pola ekonomi masyarakat.
Melihat kondisi inilah, Jatam menuntut secara tegas agar Energi dan Sumber Daya Mineral tunduk kepada UU No 32/2009 dan tidak mengintervensi Kementerian Lingkungan Hidup, segera menghentikan izin usaha pertambangan dan mengevaluasi perusahaan yang merusak lingkungan, menutup segera tambang di wilayah hutan untuk menahan laju daya rusak tambang. 



Perindustrian dan lingkungan hidup merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan dan saling terkait satu sama lain. Terutama peridustrian yang berhubungan dengan operasi pertambangan. Pesatnya pertumbuhan ekonomi dengan industri sebagai tulang punggung, selalu menyisakan dampak lingkungan yang makin parah. Ironisnya, banyak pihak-pihak terkait yang malah terkesan menutup-nutupi permasalahan lingkungan ini akibat operasi pertambangan dengan alih-alih membangun ekonomi Indonesia yang lebih baik. Namun, jika kita telaah lagi apa gunanya perindustrian yang mumpuni tetapi tidak selaras dengan keadaan lingkungan kita. Jika dilihat dari berita diatas, begitu banyak mafia pertambangan yang selalu memprioritaskan keuntungan yang diperoleh tanpa memikirkan dampaknya bagi lingkungan.
Limbah industri dapat berwujud gas, cair atau padat seringkali membahayakan kesehatan dan keselamatan masyarakat di sekitarnya. Seperti yang telah disebutkan berita diatas, akibat eksploitasi operasi pertambangan banyak hutan yang rusak sehingga daerah resapan air menjadi berkurang. Jika kondisi perairan makin tercemar, maka masyarakat sekitar menjadi enggan untuk mendayagunakannya. Lebih jauh lagi perairan bisa menjadi sumber penyakit yang membahayakan, bisa menimbulkan gatal-gatal, diare dan sebagainya. Jika limbah industry memasuki area pesawahan, maka tanaman padi akan terkontaminasi beragam komponen limbah, seperti logam berat. Tak jarang hasil panen bisa mengandung residu limbah industri.
elain merusak perairan, buangan industri juga berpotensi mencemari atmosfer sekitar. Udara di sekitar kota-kota industri seperti Jakarta, Tangerang, Bekasi, Bandung, Cimahi, Surabaya, Gresik dan Sidoarjo, sudah terkontaminasi beragam polutan industri. Beberapa senyawa kimia buangan industri berpotensi menimbulkan gangguan pernafasan dan kerusakan kulit. Kalau asap terus dilepas tanpa kendali, tidak berlebihan jika suatu saat kota-kota tersebut akan diselimuti asbut (asap kabut). Bencana asbut pernah menimpa Tokyo dan beberapa kota lain. Suasana udara kota tak ubahnya seperti sebuah kota yang terkena semburan material letusan gunung berapi, sebagaimana terjadi di Jogjakarta, Magelang dan sekitarnya beberapa bulan yang lalu.
Penanggulangan Pencemaran Lingkungan Hidup
Dasar hukum dalam penanggulangan masalah pencemaran lingkungan tentunya didasarkan ketentuan-ketentuan baik berdasarkan peraturan perundang-undangan dalam rangka mencegah terjadinya masalah-masalah pencemaran lingkungan hidup. Ketentuan utama tentang pencegahan pencemaran lingkungan dalam Pasal 17 Undang-Undang Lingkungan Hidup  menentukan bahwa: “Ketentuan tentang pencegahan dan penanggulangan perusakan dan pencemaran lingkungan hidup beserta pengawasannya yang dilakukan secara menyeluruh dan/atau secara sektoral ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan”. Di dalam penjelasan, bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ini memuat upaya penegakan hukumnya. Faktor-faktor penyebab terjadi pencemaran lingkungan dicontohkan Siti Sundari Rangkuti bahwa pencemaran yang disebabkan oleh penggunaan misal berupa penyebaran secara luas produk-produk yang bersifat mencemarkan, seperti deterjen, hal ini dapat dicegah dengan cara pengaturan pensyaratan yang menyangkut sifat-sifatnya, pemeriksaan berkala, peraturan atau petunjuk pemakaian dan sebagainya. Penyebab terjadinya pencemaran lingkungan dapat dilihat dari dua faktor penyebab: yaitu dari faktor alam berupa hujan yang turun terus menerus, terjadinya banjir, tanah longsor, wabah demam muntaber dan sebagainya; dan faktor adanya aktivitas manusia dan kegiatan dari manusia seperti limbah pencelupan industri garmen yang banyak mengandung bahan-bahan kimia yang berbahaya, adanya pabrik-pabrik industri perbengkelan menyebabkan polusi udara dan sebagainya; diantara kedua kegiatan yang sangat membahayakan terjadinya pencemaran lingkungan hidup ini adalah faktor kegiatan manusia.
Usaha pencegahan pencemaran industri dapat berupa:
a.   Meningkatkan kesadaran lingkungan diantara karyawan dan pengusaha khususnya masyarakat umumnya tentang akibat buruk suatu pencemaran.
b.   Pembentukan organisasi penanggulangan pencemaran untuk antara lain mengadakan monitoring berkala guna mengumpulkan data selengkap mungkin yang dapat dijadikan dasar menentukan kriteria tentang kualitas udara, air dan sebagainya.
c.   Penanganan atau penetapan kriteria tentang kualitas tersebut dalam peraturan perundang-undangan.
d.   Penentuan daerah industri yang terencana dengan baik, dikaitkan dengan planologi kota, pedesaan, dengan memperhitungkan berbagai segi.  Penentuan daerah industri ini mempermudah usaha pencegahan dengan perlengkapan instalasi pembuangan, baik melalui air maupun udara.
e.   Penyempurnaan alat produksi melalui kemajuan teknologi, diantaranya  melalui modifikasi alat produksi sedemikian rupa sehingga bahan-bahan pencemaran yang bersumber  pada proses produksi dapat dihilangkan, setidak-tidaknya dapat dikurangi. Pencemaran dapat dicegah dengan pemasangan alat-alat khusus untuk pre-treatment.

Intinya adalah, seharusnya kegiatan pertambangan memanfaatkan sumberdaya alam dengan berwawasan lingkungan, agar kelestarian lingkungan hidup tetap terjaga.


No comments:

Post a Comment