Jumat, 28
September 2012 | 17:31 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com — Sekitar 70
persen kerusakan lingkungan di Indonesia disebabkan oleh operasi pertambangan.
Industri ekstraktif ini dengan mudah melabrak dan
mengakali berbagai aturan yang bertentangan dengan kepentingannya, termasuk
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan
Lingkungan Hidup (PPLH).
"Bahkan, UU No 32/2009 dianggap sebagai
penghambat investasi. Tak heran, undang-undang ini terus diabaikan dan
pelan-pelan dipereteli kekuatannya," kata Priyo Pamungkas Kustiadi, Media
Communication and Outreach Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), di Jakarta, Jumat
(28/9/2012).
Hampir 34 persen daratan Indonesia telah
diserahkan kepada korporasi lewat 10.235 izin pertambangan mineral dan batubara
(minerba). Itu belum termasuk izin perkebunan skala besar, wilayah kerja migas,
panas bumi, dan tambang galian C.
Kawasan pesisir dan laut juga tidak luput dari
eksploitasi, lebih dari 16 titik reklamasi, penambangan pasir, pasir besi, dan
menjadi tempat pembuangan limbah tailing Newmont dan Freeport.
Demikian juga hutan kita, setidaknya 3,97 juta
hektar kawasan lindung terancam pertambangan, tak luput keanekaragaman hayati
di dalamnya. Tak hanya hutan, sungai kita pun dikorbankan. Jumlah daerah aliran
sungai (DAS) yang rusak parah meningkat dalam 10 tahun terakhir.
Dari sekitar 4.000 DAS yang ada di Indonesia,
sebanyak 108 DAS mengalami kerusakan parah. ESDM dinilai melakukan pembiaran
atas kehancuran ini dan dibayar dengan kematian warga, kerusakan lahan, dan
berubahnya pola ekonomi masyarakat.
Melihat kondisi inilah, Jatam menuntut secara
tegas agar Energi dan Sumber Daya Mineral tunduk kepada UU No 32/2009 dan tidak
mengintervensi Kementerian Lingkungan Hidup, segera menghentikan izin usaha
pertambangan dan mengevaluasi perusahaan yang merusak lingkungan, menutup
segera tambang di wilayah hutan untuk menahan laju daya rusak tambang.
Perindustrian
dan lingkungan hidup merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan dan saling
terkait satu sama lain. Terutama peridustrian yang berhubungan dengan operasi
pertambangan. Pesatnya pertumbuhan ekonomi dengan industri sebagai tulang punggung,
selalu menyisakan dampak lingkungan yang makin parah. Ironisnya, banyak
pihak-pihak terkait yang malah terkesan menutup-nutupi permasalahan lingkungan
ini akibat operasi pertambangan dengan alih-alih membangun ekonomi Indonesia
yang lebih baik. Namun, jika kita telaah lagi apa gunanya perindustrian yang
mumpuni tetapi tidak selaras dengan keadaan lingkungan kita. Jika dilihat dari
berita diatas, begitu banyak mafia pertambangan
yang selalu memprioritaskan keuntungan yang diperoleh tanpa memikirkan
dampaknya bagi lingkungan.
Limbah
industri dapat berwujud gas, cair atau padat seringkali membahayakan kesehatan
dan keselamatan masyarakat di sekitarnya. Seperti yang telah disebutkan berita
diatas, akibat eksploitasi operasi pertambangan banyak hutan yang rusak
sehingga daerah resapan air menjadi berkurang. Jika kondisi perairan makin
tercemar, maka masyarakat sekitar menjadi enggan untuk mendayagunakannya. Lebih
jauh lagi perairan bisa menjadi sumber penyakit yang membahayakan, bisa
menimbulkan gatal-gatal, diare dan sebagainya. Jika limbah industry memasuki
area pesawahan, maka tanaman padi akan terkontaminasi beragam komponen limbah,
seperti logam berat. Tak jarang hasil panen bisa mengandung residu limbah
industri.
elain
merusak perairan, buangan industri juga berpotensi mencemari atmosfer sekitar.
Udara di sekitar kota-kota industri seperti Jakarta, Tangerang, Bekasi,
Bandung, Cimahi, Surabaya, Gresik dan Sidoarjo, sudah terkontaminasi beragam
polutan industri. Beberapa senyawa kimia buangan industri berpotensi
menimbulkan gangguan pernafasan dan kerusakan kulit. Kalau asap terus dilepas
tanpa kendali, tidak berlebihan jika suatu saat kota-kota tersebut akan
diselimuti asbut (asap kabut). Bencana asbut pernah menimpa Tokyo dan beberapa
kota lain. Suasana udara kota tak ubahnya seperti sebuah kota yang terkena
semburan material letusan gunung berapi, sebagaimana terjadi di Jogjakarta,
Magelang dan sekitarnya beberapa bulan yang lalu.
Penanggulangan
Pencemaran Lingkungan Hidup
Dasar hukum dalam penanggulangan
masalah pencemaran lingkungan tentunya didasarkan ketentuan-ketentuan baik
berdasarkan peraturan perundang-undangan dalam rangka mencegah terjadinya
masalah-masalah pencemaran lingkungan hidup. Ketentuan utama tentang pencegahan
pencemaran lingkungan dalam Pasal 17 Undang-Undang Lingkungan
Hidup menentukan bahwa: “Ketentuan tentang pencegahan dan
penanggulangan perusakan dan pencemaran lingkungan hidup beserta pengawasannya
yang dilakukan secara menyeluruh dan/atau secara sektoral ditetapkan dengan
peraturan perundang-undangan”. Di dalam penjelasan, bahwa ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ini memuat upaya penegakan hukumnya. Faktor-faktor
penyebab terjadi pencemaran lingkungan dicontohkan Siti Sundari Rangkuti bahwa
pencemaran yang disebabkan oleh penggunaan misal berupa penyebaran secara luas
produk-produk yang bersifat mencemarkan, seperti deterjen, hal ini dapat
dicegah dengan cara pengaturan pensyaratan yang menyangkut sifat-sifatnya,
pemeriksaan berkala, peraturan atau petunjuk pemakaian dan sebagainya. Penyebab
terjadinya pencemaran lingkungan dapat dilihat dari dua faktor penyebab: yaitu
dari faktor alam berupa hujan yang turun terus menerus, terjadinya banjir,
tanah longsor, wabah demam muntaber dan sebagainya; dan faktor adanya aktivitas
manusia dan kegiatan dari manusia seperti limbah pencelupan industri garmen
yang banyak mengandung bahan-bahan kimia yang berbahaya, adanya pabrik-pabrik
industri perbengkelan menyebabkan polusi udara dan sebagainya; diantara kedua
kegiatan yang sangat membahayakan terjadinya pencemaran lingkungan hidup ini
adalah faktor kegiatan manusia.
Usaha pencegahan pencemaran
industri dapat berupa:
a. Meningkatkan
kesadaran lingkungan diantara karyawan dan pengusaha khususnya masyarakat
umumnya tentang akibat buruk suatu pencemaran.
b. Pembentukan
organisasi penanggulangan pencemaran untuk antara lain mengadakan monitoring
berkala guna mengumpulkan data selengkap mungkin yang dapat dijadikan dasar
menentukan kriteria tentang kualitas udara, air dan sebagainya.
c. Penanganan
atau penetapan kriteria tentang kualitas tersebut dalam peraturan
perundang-undangan.
d. Penentuan
daerah industri yang terencana dengan baik, dikaitkan dengan planologi kota,
pedesaan, dengan memperhitungkan berbagai segi. Penentuan daerah
industri ini mempermudah usaha pencegahan dengan perlengkapan instalasi
pembuangan, baik melalui air maupun udara.
e. Penyempurnaan
alat produksi melalui kemajuan teknologi, diantaranya melalui
modifikasi alat produksi sedemikian rupa sehingga bahan-bahan pencemaran yang
bersumber pada proses produksi dapat dihilangkan, setidak-tidaknya
dapat dikurangi. Pencemaran dapat dicegah dengan pemasangan alat-alat khusus
untuk pre-treatment.
Intinya adalah, seharusnya
kegiatan pertambangan memanfaatkan sumberdaya alam dengan berwawasan
lingkungan, agar kelestarian lingkungan hidup tetap terjaga.
No comments:
Post a Comment