Thursday, October 23, 2014

Natural Resources “Sustainable Natural Resources Management Ngata Toro Indonesia”


Berikut adalah ulasan singkat mengenai konten atau isi video dengan judul “Sustainable Natural Resources Management Ngata Toro Indonesia”

Desa (bahasa setempat Ngata) Toro telah terbentuk beberapa abad lampau dan telah mewujudkan sebuah komunitas yang mapan sejak masa pra-kolonial. Tidak ada catatan yang pasti tentang masa desa ini terbentuk. Namun, penuturan orang-orang tua mengisahkan bahwa pada masa pra-kolonial masyarakat Toro telah mengalami tiga periode kepemimpinan, yaitu di bawah kepemimpinan Mpone, Ntomatu, dan Menanca (Balawo). Kisah lisan ini disertai penegasan tambahan bahwa periode masing-masing tokoh ini berlangsung cukup lama. Mpone merupakan tokoh yang merintis cikal bakal terbentuknya komunitas Toro. Ia adalah kepala rombongan yang mengungsi dari Malino dan yang kemudian membentuk generasi pertama penduduk asli Toro. Malino adalah pemukiman asal mereka (kampung tua) yang terletak sekitar 40 km arah barat daya Desa Toro sekarang. Mitos setempat mengisahkan bahwa kepergian mereka dari kampung tua itu adalah karena serangan mahluk halus (bunian). Akibat serangan ini hampir seluruh penduduk Malino musnah. Hanya beberapa keluarga yang berhasil menyelamatkan diri. Setelah berpindah-pindah dari beberapa tempat, pelarian dari Malino ini akhirnya menetap di lokasi Desa Toro sekarang.

Keseluruhan wilayah Ngata Toro, termasuk wilayah adat yang diklaimnya, didominasi oleh daerah pegunungan. Di dalam wilayah ini mengalir beberapa sungai besar seperti: Sungai Sopa, Biro, Pangemoa, Alumiu, Pono, Bola, Mewe dan Kadundu. Batas-batas wilayah adat yang diklaim masyarakat Toro adalah:
  • Bulu (gunung) Taweki atau secara administratif sebelah utara dengan Ngata Mataue dan Lindu
  • Bulu Podoroa atau secara administratif sebelah timur dengan Kaduwa dan Katu (Ue Biro dan Ue Hawuraga)
  • Bulu Mahue dan Potovoa Noa atau secara administratif sebelah Selatan dengan O’o Parase dan Lawua ;
  • Bulu Tobengi dan Ue Halua atau secara administratif sebelah barat dengan Sungku dan Winatu ;


Wilayah pemukiman dan pertanian Desa Toro merupakan sebuah hamparan lembah yang dikelilingi pegunungan dengan dua barisan bukit yang menjulur keluar. Dengan kontur seperti ini perkembangan perkampungan mengikuti kontur fisik yang ada dan membentuk serupa huruf “W“ apabila dilihat dari sisi kawasan Taman Nasional Lore Lindu. Wilayah pemukiman penduduk terkosentrasi di salah satu potongan yang hampir simetris, sementara wilayah persawahan tersebar di sepanjang jari-jari huruf “W“ tersebut.

Komunitas Toro yang sekarang dikenal dengan Ngata Toro terbentuk pada 1950-an, yaitu pada saat kedatangan orang Rampi dalam jumlah yang cukup besar. Perpindahan itu terjadi ketika berlangsungnya pemberontakan DI/TII Kahar Muzakar pada awal tahun 1950-an di Propinsi Sulawesi Selatan. Masuknya orang Rampi secara bergelombang ini telah meningkatkan jumlah kelompok masyarakat ini di Toro. Namun, keragaman kelompok masyarakat di Toro tidak terbatas pada orang Rampi semata. Pada akhir 1960-an, Toro kembali menampung migrasi kelompok masyarakat Uma yang berasal dari Kulawi bagian barat. Berbeda dari pola migrasi sebelumnya, kedatangan orang Uma ke Toro ini merupakan bagian dari proyek pemukiman kembali(resettlement) yang dilakukan secara paksa oleh pemerintah terhadap kelompok-kelompok masyarakat yang dianggap terasing dan terbelakang.

Dengan sejarah demografi ini, maka komposisi penduduk Toro saat ini terdiri atas tiga kelompok dominan, yaitu orang Moma sebagai penduduk asli dengan jumlah mayoritas, orang Rampi dan Uma sebagai etnis pendatang yang jumlahnya juga cukup signifikan. Yang menarik, keragaman kelompok masyarakat ini ternyata telah menciptakan struktur pemukiman yang terdistribusi menurut kelompoknya sehingga menciptakan boya-boya (dusun-dusun) dengan komposisi penduduk yang secara etnis relatif homogen. Orang Moma terkonsentrasi di Boya 1, 2, 3 dan sebagian Boya 4 sedangkan orang Rampi di Boya 5 dan 7 dan orang Uma terpusat di Boya 6. Meskipun keragaman kelompok masyarakat di Toro ini membentuk pola pemukiman yang saling terpisah, namun keragaman ini dalam derajat tertentu telah dirajut oleh ikatan-ikatan kekerabatan dan yang telah dimapankan oleh rasa saling hormat menghormati dan saling menghargai antara penduduk asli dan penduduk pendatang. Semua orang Toro menyebut diri dengan ‘kami adalah masyarakat Toi Toro’.

Sistem Pemanfaatan Sumber Daya Alam

Komunitas Toro mengenal dua bentuk penguasaan lahan. Pada dasarnya, semua lahan di wilayah adat adalah milik bersama (komunal) sebagai wujud penguasaan komunitas secara keseluruhan atas wilayahnya (huaka). Pemilikan pribadi (dodoha) atas lahan tertentu di wilayah ini baru bisa terjadi pada orang yang pertama kali membuka hutan primer untuk diolah menjadi kebun pertanian (pampa).

Berdasarkan sejarah pembukaan lahan dan sistem perladangan bergilir yang dipraktikkan, komunitas Toro membedakan 6 kategori tata guna lahan tradisional.

  • Wana Ngkiki, yaitu kawasan hutan primer di puncak gunung yang sebagiannya didominasi oleh rerumputan, lumut dan perdu. Kawasan ini dianggap amat penting sebagai sumber udara segar (winara), dan tidak boleh dijamah aktivitas manusia. Dalam kawasan Wana Ngkiki ini tidak terdapat hak kepemilikan individu (Dodoha) yang diakui. 
  • Wana, yaitu hutan primer di sebelah bawah Wana ngkiki yang merupakan habitat hewan dan tumbuhan langka, dan sebagai kawasan tangkapan air. Karena itu, di area ini dilarang membuka lahan pertanian karena bisa menimbulkan bencana alam. Wana hanya boleh dimanfaatkan untuk kegiatan berburu dan mengambil getah damar, bahan wewangian dan obat-obatan, serta rotan. Kepemilikan pribadi (Dodoha) di dalam kawasan ini hanya berlaku pada pohon damar yang penentuannya tergantung pada siapa yang pertama kali mengolahnya. Sementara sumber daya alam yang selebihnya merupakan hak penguasaan kolektif sebagai bagian ruang hidup dan wilayah kelola tradisional masyarakat (Huaka).
  •  Pangale, yaitu kawasan hutan semi-primer yang dulu sudah pernah diolah menjadi kebun namun telah ditinggalkan selama puluhan tahun sehingga telah menghutan kembali. Kawasan ini dalam jangka panjang dipersiapkan untuk dibuat lahan kebun, sedangkan datarannya untuk dijadikan sawah. Pangale juga dimanfaatkan untuk mengambil rotan dan kayu untuk bahan rumah dan keperluan rumah tangga, pandan hutan untuk membuat tikar dan bakul, bahan obatobatan, getah damar dan wewangian.
  • Pahawa pongko yaitu, campuran hutan semi-primer dan sekunder merupakan hutan bekas kebun yang telah ditinggalkan selama sekitar 25 tahun atau lebih sehingga sudah menyerupai pangale. Pohonnya sudah besar,  jadi untuk menebangnya sudah harus menggunakan pongko (pijakan yang terbuat dari kayu) yang cukup tinggi agar dapat menebangnya dengan mudah. Penebangan pada tempat yang agak tinggi ini dimaksudkan agar tunggulnya bisa bertunas kembali ( karena itu disebut pahawa yang berarti “pengganti“). Seperti halnya pangale, kawasan ini juga tidak tercakup dalam hak pemilikan pribadi terkecuali pohon damar yang ada di dalamnya.
  • Oma yakni hutan belukar yang terbentuk dari bekas kebun yang sengaja dibiarkan untuk diolah lagi dalam jangka waktu tertentu menurut masa rotasi dalam sistem perladangan bergilir. Oleh karena itu, pada kategori ini sudah melekat hak kepemilikan pribadi (Dodoha) dan tidak berlaku lagi kepemilikan kolektif (Huaka) karena lahan ini merupakan areal yang dipersiapkan untuk diolah lagi menurut urutan pergilirannya. Urutan pergiliran ini membentuk tiga kategori Oma yaitu:
  1. Oma ntua, apabila lahan ini dibiarkan selama 16 hingga 25 tahun, mengingat usianya, jenis ini sudah tua sehingga tingkat kesuburan tanahnya sudah pulih dan dapat diolah Hutan lebat (pangale) kembali sebagai kebun.
  2. Oma ngura, yaitu kategori yang lebih muda karena dibiarkan selama 3 hingga 15 tahun. Lahan ini didominasi rerumputan dan belukar. Pohon-pohon yang tumbuh masih kecil sehingga masih bisa ditebas memakai parang tanpa banyak kesulitan.
  3. Oma nguku adalah bekas kebun belum sampai 3 tahun ditinggalkan. Lahan ini masih di dominasi oleh rerumputan, ilalang dan semak perdu.
       Hukum adat yang mengatur hubungan manusia dengan alam (katuvua)

Apabila terjadi pelanggaran yang berhubungan dengan pengelolaan sumber daya alam, untuk menegakkan hukum adat segera pengurus adat dan pemerintah Ngata mengadakan musyawarah membahas hal pelanggaran tersebut. Pengurus adat yang mengurus dan sifatnya melapor kejadian adalah Tondo Ngata. Sanksi adat diberlakukan sesuai pelanggaran yang dilakukan dan disesuaikan oleh perkembangan zaman serta disepakati oleh musyawarah dan/atau atas suara terbanyak. Contoh kasus yang diselesaikan secara musyawarah, antara lain kasus sengketa tanah. Tanah adalah faktor produksi penting bagi masyarakat Ngata Toro. Tanah dianggap sebagai sumber kehidupan sehingga orang Toro sering menyebut “Tanah tumpu kami” yang dapat berarti tanah milik Tuhan kami, tanah milik moyang kami, tanah anak cucu kami, dan tanah milik kami. Tanah sebagai faktor produksi dan sumber kehidupan sering kali menimbulkan konflik sehingga terjadi sengketa. Sengketa atas tanah dalam kehidupan masyarakat adat Kulawi biasanya terjadi karena ada pihak-pihak yang melanggar aturan adat yang berlaku tentang tanah. Adapun aturan-aturan adat yang berlaku atas tanah dalam masyarakat adat Kulawi dapat dijelaskan sebagai berikut:
  • Batas tanah individu adalah pohon hidup yang ditanam di sudut-sudut tanah atau sepanjang batas (sebagai pagar), ada pula batas berupa got yang digali sepanjang batas dengan kedalaman kurang lebih 1 meter yang disebut “Wala tanah”.
  • Batas wilayah adat Desa seperti hutan adalah sungaisungai atau pohon-pohon tertentu.
  • Tidak boleh menanam tanaman tahunan di atas batas tetapi harus berjarak 2 (dua) meter dari batas.
  • Dalam membagi warisan kepada keturunan/anak-anak orang tua harus melibatkan beberapa saksi dari keluarga terdekat.

Apabila kita analisis isi dari video tersebut, dapat kita lihat bahwa masyarakat dan juga pemerintah disana bersama-sama saling mendukung untuk melaksanakan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan. Pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan itu sendiri adalah upaya sadar dan berencana menggunakan dan mengelola sumber daya alam secara bijaksana untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia di masa sekarang dan di masa depan. Pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan didasarkan pada dua prinsip yaitu SDA terutama SDA yang tidak dapat di perbaharui memiliki persediaan yang terbatas dehingga harus dijaga ketersediaanya dan digunakan secara bertanggung jawab. Kedua pertambahan penduduk setiap tahun meningkat maka kebutuhan hidup akan meningkat pula oleh karena itu potensi sumber daya alam harus mendukung kebutuhan sekarang dan kebutuhan masa depan. Contoh penerapan pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan :
  1. Mengurangi ekploitasi berlebihan terhadap alam
  2. Menggunakan SDA secara efisien
  3. Pemanfaatn SDA sesuai dengan daya dukung lingkungan
  4. Pengelolaan barang tambang sebelum di ekspor  aga memiliki nilai jual yang tinggi dan mengurangi pengunana barang tambang
  5. Pengelolaan SDA berdasarkan prinsip ekofiensi ( prinsip yang menggunakan SDA dengan biaya yang murah dan meminimalkan dapak negatif terhadap lingkungan. 

Pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan merupakan salah satu agenda yang dibahas dalam Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (Earth Summit) di Rio Jeneiro (Brasil) tahun 1992, yang merumuskan tentang konservasi keanekaragaman hayati, pengembangan bioteknologi dan pengelolaan wilayah terpadu termasuk wilayah pesisir dan lautan.  Ketiga aspek ini diarahkan kepada upaya pelestarian dan perlindungan keanekaragaman biologi pada tingkat genetik, spesies dan ekosistem serta menjamin kekayaan alam, binatang dan tujuan di seluruh kepulauan Indonesia.  Selanjutnya dikatakan bahwa upaya-upaya pengelolaan sumber daya alam tidak hanya diarahkan untuk kepentingan jangka pendek nasional yaitu meningkatkan devisa negara tetapi juga kepentingan jangka panjang dalam skala yang lebih luas.
Hal tersebutlah yang dilakukan oleh komunitas masyarakat yang ada di Ngata Toro, Sulawesi Tengah. Pemerintah, UNESCO, dan masyarakat bersama-sama mewujudkan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan agar nantinya terjadi suatu keseimbangan alam. Karena, komunitas masyarakat Ngata Toro menganggap bahwa sumber daya alam atau natural resources merupakan warisan paling berharga yang dapat diwariskan ke generasi mendatang.



Referensi: 






No comments:

Post a Comment