Berikut adalah ulasan singkat mengenai konten atau isi video dengan judul “Sustainable Natural Resources Management Ngata Toro Indonesia”
Desa (bahasa setempat Ngata) Toro telah
terbentuk beberapa abad lampau dan telah mewujudkan sebuah komunitas yang mapan
sejak masa pra-kolonial. Tidak ada catatan yang pasti tentang masa desa ini
terbentuk. Namun, penuturan orang-orang tua mengisahkan bahwa pada masa
pra-kolonial masyarakat Toro telah mengalami tiga periode kepemimpinan, yaitu
di bawah kepemimpinan Mpone, Ntomatu, dan Menanca (Balawo).
Kisah lisan ini disertai penegasan tambahan bahwa periode masing-masing tokoh
ini berlangsung cukup lama. Mpone merupakan tokoh yang merintis cikal
bakal terbentuknya komunitas Toro. Ia adalah kepala rombongan yang mengungsi dari
Malino dan yang kemudian membentuk generasi pertama penduduk asli Toro. Malino
adalah pemukiman asal mereka (kampung tua) yang terletak sekitar 40 km arah
barat daya Desa Toro sekarang. Mitos setempat mengisahkan bahwa kepergian mereka
dari kampung tua itu adalah karena serangan mahluk halus (bunian).
Akibat serangan ini hampir seluruh penduduk Malino musnah. Hanya beberapa
keluarga yang berhasil menyelamatkan diri. Setelah berpindah-pindah dari
beberapa tempat, pelarian dari Malino ini akhirnya menetap di lokasi Desa Toro
sekarang.
Keseluruhan wilayah Ngata Toro, termasuk wilayah
adat yang diklaimnya, didominasi oleh daerah pegunungan. Di dalam wilayah ini
mengalir beberapa sungai besar seperti: Sungai Sopa, Biro, Pangemoa, Alumiu,
Pono, Bola, Mewe dan Kadundu. Batas-batas wilayah adat yang diklaim masyarakat
Toro adalah:
- Bulu (gunung) Taweki atau secara administratif sebelah utara dengan Ngata Mataue dan Lindu
- Bulu Podoroa atau secara administratif sebelah timur dengan Kaduwa dan Katu (Ue Biro dan Ue Hawuraga)
- Bulu Mahue dan Potovoa Noa atau secara administratif sebelah Selatan dengan O’o Parase dan Lawua ;
- Bulu Tobengi dan Ue Halua atau secara administratif sebelah barat dengan Sungku dan Winatu ;
Wilayah pemukiman dan pertanian Desa
Toro merupakan sebuah hamparan lembah yang dikelilingi pegunungan dengan dua
barisan
bukit yang menjulur keluar. Dengan
kontur seperti ini perkembangan perkampungan mengikuti kontur fisik yang ada dan membentuk
serupa huruf “W“ apabila dilihat
dari sisi kawasan Taman Nasional Lore Lindu. Wilayah pemukiman
penduduk terkosentrasi di salah satu potongan yang hampir simetris, sementara wilayah
persawahan tersebar
di sepanjang jari-jari huruf “W“ tersebut.
Komunitas Toro yang sekarang dikenal dengan Ngata
Toro terbentuk pada 1950-an, yaitu pada saat kedatangan orang Rampi dalam
jumlah yang cukup besar. Perpindahan itu terjadi ketika berlangsungnya
pemberontakan DI/TII Kahar Muzakar pada awal tahun 1950-an di Propinsi Sulawesi
Selatan. Masuknya orang Rampi secara bergelombang ini telah meningkatkan jumlah
kelompok masyarakat ini di Toro. Namun, keragaman kelompok masyarakat di Toro
tidak terbatas pada orang Rampi semata. Pada akhir 1960-an, Toro kembali
menampung migrasi kelompok masyarakat Uma yang berasal dari Kulawi bagian
barat. Berbeda dari pola migrasi sebelumnya, kedatangan orang Uma ke Toro ini
merupakan bagian dari proyek pemukiman kembali(resettlement) yang dilakukan
secara paksa oleh pemerintah terhadap kelompok-kelompok masyarakat yang
dianggap terasing dan
terbelakang.
Dengan
sejarah demografi ini, maka komposisi penduduk Toro saat ini terdiri atas tiga
kelompok dominan, yaitu orang Moma sebagai penduduk asli dengan jumlah
mayoritas, orang Rampi dan Uma sebagai
etnis pendatang yang jumlahnya juga cukup signifikan. Yang menarik, keragaman
kelompok masyarakat ini ternyata telah menciptakan struktur pemukiman yang
terdistribusi menurut kelompoknya sehingga menciptakan boya-boya (dusun-dusun)
dengan komposisi penduduk yang secara etnis relatif homogen. Orang Moma
terkonsentrasi di Boya 1, 2, 3 dan sebagian Boya 4 sedangkan orang Rampi
di Boya 5 dan 7 dan orang Uma terpusat di Boya 6. Meskipun
keragaman kelompok masyarakat di Toro ini membentuk pola pemukiman yang saling
terpisah, namun keragaman ini dalam derajat tertentu telah dirajut oleh
ikatan-ikatan kekerabatan dan yang telah dimapankan oleh rasa saling hormat
menghormati dan saling menghargai antara penduduk asli dan penduduk pendatang. Semua
orang Toro menyebut diri dengan ‘kami adalah masyarakat Toi Toro’.
Sistem
Pemanfaatan Sumber Daya Alam
Komunitas Toro mengenal dua bentuk penguasaan lahan.
Pada dasarnya, semua lahan di wilayah adat adalah milik bersama (komunal)
sebagai wujud penguasaan komunitas secara keseluruhan atas wilayahnya (huaka).
Pemilikan pribadi (dodoha) atas lahan tertentu di wilayah ini baru bisa
terjadi pada orang yang pertama kali membuka hutan primer untuk diolah menjadi
kebun pertanian (pampa).
Berdasarkan
sejarah pembukaan lahan dan sistem perladangan bergilir yang dipraktikkan, komunitas
Toro membedakan 6 kategori tata guna lahan tradisional.
- Wana Ngkiki, yaitu kawasan hutan primer di puncak gunung yang sebagiannya didominasi oleh rerumputan, lumut dan perdu. Kawasan ini dianggap amat penting sebagai sumber udara segar (winara), dan tidak boleh dijamah aktivitas manusia. Dalam kawasan Wana Ngkiki ini tidak terdapat hak kepemilikan individu (Dodoha) yang diakui.
- Wana, yaitu hutan primer di sebelah bawah Wana ngkiki yang merupakan habitat hewan dan tumbuhan langka, dan sebagai kawasan tangkapan air. Karena itu, di area ini dilarang membuka lahan pertanian karena bisa menimbulkan bencana alam. Wana hanya boleh dimanfaatkan untuk kegiatan berburu dan mengambil getah damar, bahan wewangian dan obat-obatan, serta rotan. Kepemilikan pribadi (Dodoha) di dalam kawasan ini hanya berlaku pada pohon damar yang penentuannya tergantung pada siapa yang pertama kali mengolahnya. Sementara sumber daya alam yang selebihnya merupakan hak penguasaan kolektif sebagai bagian ruang hidup dan wilayah kelola tradisional masyarakat (Huaka).
- Pangale, yaitu kawasan hutan semi-primer yang dulu sudah pernah diolah menjadi kebun namun telah ditinggalkan selama puluhan tahun sehingga telah menghutan kembali. Kawasan ini dalam jangka panjang dipersiapkan untuk dibuat lahan kebun, sedangkan datarannya untuk dijadikan sawah. Pangale juga dimanfaatkan untuk mengambil rotan dan kayu untuk bahan rumah dan keperluan rumah tangga, pandan hutan untuk membuat tikar dan bakul, bahan obatobatan, getah damar dan wewangian.
- Pahawa pongko yaitu, campuran hutan semi-primer dan sekunder merupakan hutan bekas kebun yang telah ditinggalkan selama sekitar 25 tahun atau lebih sehingga sudah menyerupai pangale. Pohonnya sudah besar, jadi untuk menebangnya sudah harus menggunakan pongko (pijakan yang terbuat dari kayu) yang cukup tinggi agar dapat menebangnya dengan mudah. Penebangan pada tempat yang agak tinggi ini dimaksudkan agar tunggulnya bisa bertunas kembali ( karena itu disebut pahawa yang berarti “pengganti“). Seperti halnya pangale, kawasan ini juga tidak tercakup dalam hak pemilikan pribadi terkecuali pohon damar yang ada di dalamnya.
- Oma yakni hutan belukar yang terbentuk dari bekas kebun yang sengaja dibiarkan untuk diolah lagi dalam jangka waktu tertentu menurut masa rotasi dalam sistem perladangan bergilir. Oleh karena itu, pada kategori ini sudah melekat hak kepemilikan pribadi (Dodoha) dan tidak berlaku lagi kepemilikan kolektif (Huaka) karena lahan ini merupakan areal yang dipersiapkan untuk diolah lagi menurut urutan pergilirannya. Urutan pergiliran ini membentuk tiga kategori Oma yaitu:
- Oma ntua, apabila lahan ini dibiarkan selama 16 hingga 25 tahun, mengingat usianya, jenis ini sudah tua sehingga tingkat kesuburan tanahnya sudah pulih dan dapat diolah Hutan lebat (pangale) kembali sebagai kebun.
- Oma ngura, yaitu kategori yang lebih muda karena dibiarkan selama 3 hingga 15 tahun. Lahan ini didominasi rerumputan dan belukar. Pohon-pohon yang tumbuh masih kecil sehingga masih bisa ditebas memakai parang tanpa banyak kesulitan.
- Oma nguku adalah bekas kebun belum sampai 3 tahun ditinggalkan. Lahan ini masih di dominasi oleh rerumputan, ilalang dan semak perdu.
Hukum adat yang mengatur hubungan manusia
dengan alam (katuvua)
- Batas tanah individu adalah pohon hidup yang ditanam di sudut-sudut tanah atau sepanjang batas (sebagai pagar), ada pula batas berupa got yang digali sepanjang batas dengan kedalaman kurang lebih 1 meter yang disebut “Wala tanah”.
- Batas wilayah adat Desa seperti hutan adalah sungaisungai atau pohon-pohon tertentu.
- Tidak boleh menanam tanaman tahunan di atas batas tetapi harus berjarak 2 (dua) meter dari batas.
- Dalam membagi warisan kepada keturunan/anak-anak orang tua harus melibatkan beberapa saksi dari keluarga terdekat.
Apabila kita analisis isi dari video
tersebut, dapat kita lihat bahwa masyarakat dan juga pemerintah disana
bersama-sama saling mendukung untuk melaksanakan pengelolaan sumber daya alam
yang berkelanjutan. Pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan itu sendiri adalah
upaya sadar dan berencana menggunakan dan mengelola sumber daya alam secara
bijaksana untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia di masa sekarang dan di masa
depan. Pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan didasarkan pada dua prinsip
yaitu SDA terutama SDA yang tidak dapat di perbaharui memiliki persediaan yang
terbatas dehingga harus dijaga ketersediaanya dan digunakan secara bertanggung
jawab. Kedua pertambahan penduduk setiap tahun meningkat maka kebutuhan hidup
akan meningkat pula oleh karena itu potensi sumber daya alam harus mendukung
kebutuhan sekarang dan kebutuhan masa depan. Contoh penerapan pengelolaan
sumber daya alam berkelanjutan :
- Mengurangi ekploitasi berlebihan terhadap alam
- Menggunakan SDA secara efisien
- Pemanfaatn SDA sesuai dengan daya dukung lingkungan
- Pengelolaan barang tambang sebelum di ekspor aga memiliki nilai jual yang tinggi dan mengurangi pengunana barang tambang
- Pengelolaan SDA berdasarkan prinsip ekofiensi ( prinsip yang menggunakan SDA dengan biaya yang murah dan meminimalkan dapak negatif terhadap lingkungan.
Pengelolaan
sumber daya alam berkelanjutan merupakan salah satu agenda yang dibahas dalam
Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (Earth Summit) di Rio Jeneiro (Brasil) tahun
1992, yang merumuskan tentang konservasi keanekaragaman hayati, pengembangan
bioteknologi dan pengelolaan wilayah terpadu termasuk wilayah pesisir dan
lautan. Ketiga aspek ini diarahkan
kepada upaya pelestarian dan perlindungan keanekaragaman biologi pada tingkat
genetik, spesies dan ekosistem serta menjamin kekayaan alam, binatang dan tujuan
di seluruh kepulauan Indonesia.
Selanjutnya dikatakan bahwa upaya-upaya pengelolaan sumber daya alam
tidak hanya diarahkan untuk kepentingan jangka pendek nasional yaitu
meningkatkan devisa negara tetapi juga kepentingan jangka panjang dalam skala yang
lebih luas.
Hal
tersebutlah yang dilakukan oleh komunitas masyarakat yang ada di Ngata Toro,
Sulawesi Tengah. Pemerintah, UNESCO, dan masyarakat bersama-sama mewujudkan
pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan agar nantinya terjadi suatu
keseimbangan alam. Karena, komunitas masyarakat Ngata Toro menganggap bahwa
sumber daya alam atau natural resources
merupakan warisan paling berharga yang dapat diwariskan ke generasi mendatang.
Referensi:
No comments:
Post a Comment